Revitalisasi Pemahaman Isra`-Mi’raj
Oleh : Khairul Azfar

Sudah menjadi kebiasaan umat Islam di Indonesia, ketika tahun Hijriah menunjuki tanggal 27 Rajab, umat Islam begitu antusias memperingati Isra` dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Peristiwa Isra`-Mi’raj diyakini sebagai salah satu mu’jizat terbesar dan luar biasa yang diberikan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Karenanya, perjalanan spiritual tersebut lantas dikagumi, dihormati, dibesarkan dan diperingati sebagai salah satu bukti kecintaan dan keimanan seorang Muslim. Di Indonesia sendiri tanggal 27 Rajab telah lama ditetapkan sebagai hari libur nasional dan biasanya selalu ada pidato khusus kenegaraan dari Presiden atupun pejabat tinggi pemerintah lainnya sehingga pada akhirnya peringatan Isra`-Mi’raj menjadi salah satu syi’ar Islam dan kebanggaan umatnya terhadap Nabinya.

Namun sangat disayangkan, akhir-akhir ini semakin banyak pula pengikut paham-paham keliru yang mengatakan bahwa Isra`-Mi’raj hanya dilakukan dalam mimpi saja ataupun dengan ruh saja. Ada pula yang mengatakan bahwa peristiwa Isra`-Mi’raj adalah pertemuan sifat (Nabi Saw) dengan zatnya (Allah Swt) sehingga meyakini Muhammad Saw dan Allah Swt itu satu jua. Ironisnya, pemahaman seperti ini justru diperdagangkan oleh kelompok masyarakat yang notabene-nya berpendidikan bahkan berani menyebut dirinya berpaham tauhid-tasawuf tingkat tinggi. Karenanya, tidak ada salahnya meluangkan waktu sejenak untuk sedikit menelisik bagaimana sebenarnya pemahaman para salafush-shalih tentang salah satu peristiwa terbesar dalam Islam ini.

Pengertian Isra` dan Mi'raj
Secara etimologi, Isra` bermakna berjalan di malam hari. Dan Mi’raj berarti tempat naik atau jenjang. Sedangkan secara terminologi, Isra` adalah perjalanan di malam hari yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dari Mesjid al-Haram di Mekkah menuju ke Mesjid al-Aqsha di Palestina. Sementara Mi’raj adalah dinaikkannya Nabi Saw dengan berjenjang ke langit, dari langit ke satu sampai ke langit ke tujuh dan pada akhirnya sampai ke Sidrat al-Muntaha di atas langit ke tujuh. Dalam perjalanan yang terjadi setahun sebelum hijrah ini, Nabi Saw mengendarai buraq (seekor hewan yang sangat putih, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil dari peranakan kuda dan keledai serta kecepatan jarak tempuhnya sejauh mata memandang) dan didampingi oleh Jibril ‘as serta diperlihatkan oleh Allah Swt berbagai macam tanda kebesaran Nya, dipertemukan dengan Rasul lainnya dan pada akhirnya menerima perintah shalat lima waktu sebagai salah satu amalan wajib untuk umatnya. Namun, pertemuan Nabi Saw dengan Allah Swt ini jangan pula diyakini bahwa Allah Swt itu bertempat di atas langit ke tujuh. Maha Suci Allah Swt dari tempat dan arah.

Dalil Isra`-Mi'raj
Rangkuman perjalanan Isra`-Mi’raj telah tertera dalam Q.S. al-Isra`. Ayat pertamanya dimulai dengan kalimat “Subhaana” yang bermakna Maha Suci Tuhan. Penegasan ini kiranya dianggap perlu untuk mementahkan anggapan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah bagian dari zat Tuhan itu sendiri serta dari asumsi bahwa Tuhan memperjalankan hamba-Nya tanpa mempunyai tujuan yang pasti/sia-sia. Maha Suci-lah Tuhan dari perkara demikan. Pemakaian kata “Asraa” setelahnya mengungkapkan bahwa perjalanan ini merupakan perintah langsung Tuhan. Karena itu, perjalanan ini tidaklah sulit untuk dilakukan sebagaimana bila seseorang dipanggil dan dijemput untuk menghadap Presiden, tidak ada seorangpun yang menghalanginya.

Selanjutnya kalimat “Bi-‘Abdihii” mengindikasikan bahwa yang dipanggil untuk menghadap Tuhan adalah hamba Nya. Status hamba merupakan status paling khusus dan paling mulia yang diberikan Tuhan kepada manusia pilihannya. Tentu saja predikat hamba ini tidak tertuju kepada ruh saja ataupun kepada tubuh saja tanpa ruh, melainkan kepada satu kumpulan dari tubuh dan ruh. Pemakaian kata hamba kepada Nabi Muhammad Saw justru semakin menguatkan bahwa beliau merupakan seorang ‘abid (penyembah/makhluk), bukan ma’bud (yang disembah/khaliq). Sungguh merupakan hal yang mustahil bila ‘abid pada hakikatnya adalah ma’bud. Bersatunya ‘abid dan ma’bud dalam satu zat dan sifat adalah pemahaman tauhid-tasawuf keblinger, bukan tingkat tinggi.

Dalil-dalil lain yang mengabarkan bahwa Nabi Saw melakukan Isra`-Mi’raj dengan ruh dan jasadnya juga terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim pada hadits tentang Isra`-Mi’raj. Keraguan terhadap perjalanan Isra`-Mi’raj Nabi SAW dengan ruh dan tubuhnya sekaligus ataupun anggapan bahwa beliau hanya bermimpi sebenarnya sudah muncul dari kalangan kafir Quraisy ketika Nabi Saw menceritakan peristiwa tersebut di hadapan mereka.

Kehebohan dan keingkaran mereka adalah suatu bukti lain yang tak terbantahkan bahwa yang dikabarkan oleh Nabi Saw tentang Isra`-Mi’rajnya adalah dalam keadaan sadar dengan tubuh dan ruhnya, bukan melalui mimpi. Pendustaan mereka ini dikarenakan mereka hanya menggunakan akal saja. Tidak lebih dari itu. Memang, akal itu senantiasa berobah menurut kecerdasan pendidikannya, namun tetap saja akal itu terbatas. Akal orang zaman dahulu tidak akan percaya kalau ada besi yang bisa terbang dan membawa manusia berpindah dengan ruh dan jasadnya dari satu negeri ke negeri yang lain. Tetapi, akal orang zaman sekarang, tentu percaya.

Barangkali, bila saat ini masih ada orang yang ragu bahwasanya Nabi Muhammad Saw melakukan Isra`-Mi’raj dengan tubuh dan ruhnya, tentu pantas bila kita bertanya, akal bagaimana yang digunakan dan akal orang zaman apa untuk menimbang peristiwa Isra`-Mi’raj tersebut?! Sebagai Muslim, kita tentu sepakat bilamana akal kita mau berpikir dengan tenang dan memperhatikan kekuasaan Allah Swt, maka sesungguhnya peristiwa Isra`-Mi’raj ini dapat diterima oleh akal yang sehat dan waras.

Menyangkut dengan lafaz “Linuuriyahu” dalam ayat tersebut, bukanlah bermakna melihat dengan rohani, melainkan melihat dengan mata telanjang walaupun kalimat “Ra-aa” juga terbenar dengan makna melihat dengan rohani saja. Banyak ayat-ayat lain yang pemakaian kata “Ra-aa” bermakna penglihatan dengan mata telanjang, seperti dalam surat al-An’am:6, Yusuf:28 dan 31, Thaha:10, al-Jum’at:11, al-Mukminun:95 dan lainnya. Ini sama halnya dengan pemakaian lafaz “Nazhara” kepada yang bukan penglihatan dengan mata telanjang, seperti dalam Surat Ali Imran:77, al-Maidah:74, Yasin:49 dan lainnya.

Pada akhirnya, kita sebagai umat Islam mempunyai tanggung jawab penuh atas kemurnian agama yang kita anut. Kita patut khawatir mendengar atau pun membaca pemahaman keliru dari segelintir umat Islam sendiri terhadap peristiwa Isra` dan Mi’raj ini. Disadari atau tidak, pemahaman keliru seperti ini bisa mengakibatkan syi’ar Islam akan lenyap bahkan kesakrakalan ibadah shalat pun akan luntur dari hati masyarakat Muslim yang notabenenya adalah salah satu perintah agung dalam peristiwa Isra` dan Mi’raj. Na’udzubillah.

**Khairul Azfar, Mahasantri Ma’had ‘Aly LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga.
Email: ibnujunaidalhanafi@gmail.com