mudimesra.com | Susah dan senang adalah dua hal yang datang silih berganti pada setiap insan. Kehidupan bagaikan roda yang berputar dimana tak selamanya seseorang yang mendapatkan kesenangan akan selalu dalam keadaan senang. Demikian juga bagi orang yang dilanda kesusahan tidak perlu cemas, karena kesusahan bagaikan malam yang bila tiba waktunya akan berganti dengan siang.

Sebagai seorang hamba Allah, kita perlu menjaga etika dalam menghadapi kesusahan dan juga kesenangan. Kiat menghadapi kesusahan dan kesulitan terasa penting agar tidak membawaki kepada stres, putus asa atau bahkan malah membuat kesusahan itu menjadi semakin lama dan memberatkan jiwa. Demikian juga dengan etika dalam menghadapi kesenangan agar kesenangan itu tidak membuat seseorang terlena hingga berujung kepada kebinasaan. [Baca; Etika Dalam Kondisi Senang]

Abu Hasan As-Syazili membagi kesusahan dan kesulitan kepada yang diketahui sebabnya dengan yan tidak diketahui sebabnya. Sebab yang membuat seseorang menjadi susah ada 3:

1. Dosa yang pernah dilakukan
2. Hilang atau berkurangnya sesuatu yang bersifat duniawi
3. Ada pihak yang menzalimi

Bila memang kita merasakan kesulitan dengan menyadari disebabkan oleh salah-satu dari tiga sebab di atas, tentu saja cara mengatasinya adalah merujuk kepada sebab tersebut. Masing-masing dari penyebab timbulnya kesusahan dan kesulitan di atas memiliki cara tersendiri untuk mengatasinya.
[post_ad]
Bila kesusahan itu akibat dosa, tentu saja masalah tidak akan selesai dengan sekedar curhat kepada manusia. Bahkan curhat kepada manusia akan membuat masalah semakin rumit dan aib kita menjadi terbuka. Tempat curhat terbaik dikala dihinggapi kesusahan akibat dosa adalah sajadah dengan kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Andai kesusahan itu muncul karena hilang atau berkurangnya sesuatu yang bersifat duniawi seperti hilangnya harta, bangkrut dalam usaha, gagal meraih jabatan atau tidak mendapat lapangan pekerjaan, maka cara mengatasi itu semua adalah dengan pasrah terhadap ketentuan Allah, menerima dengan lapang dada dan berharap pahala di balik itu semua. Di sinilah perlunya mempertebal keimanan, karena orang beriman tidak akan pernah kecewa meski kehilangan segalanya. Meski apa yang dimilikinya dari hal-hal duniawi telah sirna dan lenyap darinya, tapi ia masih memiliki Allah yang maha kekal selamanya. Allah yang mencabut suatu nikmat, maka tidak ada yang menghalangi saat Allah ingin memberikannya kembali.

Adapun kesusahan yang disebabkan karena ada yang menzalimi, solusinya adalah dengan bersabar atas kezaliman itu. Jangan sampai karena ketidak sabaran, kita justeru melakukan hal-hal fatal yang berujung kepada menzalimi diri sendiri. Akhirnya kita malah mendapat dua kezaliman, zalim dari orang lain dan kezaliman karena ulah kita sendiri.

Orang yang mampu bersabar atas tindakan zalim dan aniaya, Allah akan memberikannya keluasan dada sehingga ia mampu memaafkan orang yang menzaliminya. Bahkan bisa jadi akan ditancapkan nur ilahi hingga mendatangkan belas kasihan kepada pihak yang menzaliminya dengan memperbagus sangkaan bahwa ia melakukan itu semua karena belum tau. Akhirnya ia malah mendoakan kebaikan kepada orang yang menzaliminya. Hal inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw tatkala menghadapi perlakuan zalim dari kaumnya dengan berdo'a:
[post_ad]
اللهم اهدي قومي فانهم لا يعلمون
"Ya Allah berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka belum mengetahui."

Sungguh luar biasa ketika seseorang telah mampu bersikap baik dan menyayangi orang yang menzaliminya, karena itu sebenarnya adalah derajatnya as-shadiqiin yang memiliki tempat yang tinggi di sisi Allah SWT.

Adapun bila mendapati kesusahan yang tidak diketahui penyebabnya, maka sikap kita dalam menghadapinya adalah dengan menyadari bahwa waktu terbagi kepada dua keadaan, siang dan malam. Kesusahan bagaikan malam dan kesenangan bagaikan siang. Malam itu akan berlalu dengan cepat tatkala kita menyikapinya dengan tenang, tidur dan istirahat. Tanpa terasa siang pun tiba. Beda halnya dengan orang yang melewatkan malam dengan berputar ke sana kemari seraya tidak sabar menanti datangnya siang, tentu malam akan terasa panjang dan sangat lama. Alangkah lebih beruntung kalau seseorang mampu melewati malam dengan menikmatinya, melihat indahnya bintang dan merasakan terangnya rembulan, hingga dengan tanpa terasa matahari telah terbit dengan cahayanya yang terang benderang.

Demikianlah kesusahan dan kesulitan, ia akan terasa lama dan berat bila terlalu dipikirkan. Namun akan menjadi singkat dan ringan tatkala dihadapi dengan tenang dan penuh kesabaran. Apalagi kalau seandainya mampu menikmati suasana kesusahan dan kesulitan dengan mengharap balasan yang tinggi di sisi Allah SWT. (iqbal_jalil)

[Dikutip dari Pengajian Hikam Special Ramadhan bersama Abi Zahrul Fuadi Mubarak di Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, Bireuen, Aceh]