mudimesra.com | Yan, kampung Aceh, Penang, Malaysia adalah satu daerah di Negeri Jiran Malaysia yang banyak terdapat peninggalan khas Aceh berupa budaya, tradisi, reusam sampai ilmu pengetahuan agama. Dalam kunjungan tim safari dakwah, kami berkesempatan mengunjungi beberapa tempat peninggalan ulama tempo dulu yang berasal dari Aceh, diantara makam Tgk Indrapuri (Umar di Yan) dan makam Syeh Mahmud Al-Majzub di ke komplek Zawiyah Jabal Nur di daerah Sik, Darul Aman, Kedah. Di tempat tersebut juga terdapat peninggalan berupa tempat melaksanakan suluk dan tawajjuh, beliau juga dikenal salah seorang ulama bertariqah Naqsyabandiyyah dan Qadiriyyah.
Ahamdulillah banyak pelajaran yang bisa dipetik selama acara ini berlansung berupa sebuah kekaguman dari para peserta dan para guru Maktab al Ghazali sendiri setelah kami paparkan bahwa di pesantren Aceh para guru dan tenaga pengajar dayah tidak digaji oleh pimpinan dayah atau dari pemerintah. Inilah salah satu penerapan Ihya Ulumuddin secara nyata dikalangan ulama Aceh terhadap para santri serta pelajarnya. Dalam penerapan Ihya di Aceh dalam amaliah ibadah ialah kegiatan suluk dan tawajjuh dengan tariqah Naqsyabandiyyah jalur Abuya Muda Waly Al Khalidy kemudian dilanjutkan oleh dayah-dayah di Aceh termasuk dayah MUDI Mesjid Raya, Samalanga. Sungguh sangat terasa bagaimana kegigihan ulama Aceh dalam penerapan isi serta kandungan Ihya Ulumiddin dari dulu hingga sekarang ini.
Kemudian salah satu pemateri seminar ini ialah Prof Dr Wan Suhaimi Wan Abdullah dari Kuala Lumpur, salah seorang jebolan al Azhar,Kairo yang telah banyak sekali meneliti tradisi dan keunggulan ilmu memahami kitab turast (kitab kuning). Beliau berpendapat bahwasanya ilmu ini ada yang sangat peting dari sekedar menghafal saja akan tetapi kurang memahami pemahaman ilmu itu sendiri bahkan beliau mengatakan bahwa peringkat sekedar menghafal adalah peringkat terendah dalam tradisi keilmuan, akan tetapi memahami ini sangatlah penting karena akan melahirkan kader-kader ulama yang dikatagorikan taffaquh fiddin seperti tradisi dayah di Aceh tambah beliau.
Kegiatan yang dibentuk oleh Basmalla Australia,Al Muwassalah Dan Majlis Ta’lim Jabal Nur dengan tema Perkumpulan Ihya Malaysia (Malaysia Ihya Gathering) ini dihadiri undangan dari Aceh, Singapura, Autralia dan Malaysia dengan pemateri dengan kajian yang berbeda-beda seperti Habib Abdullah bin Abdul Qadir al-Habsyi menyampaikan tradisi pembelajaran Ihya Ulumiddin di Tarim,Yaman. Prof.Dr Habib As Sayyed Abdul Hamid bin Ali Mahdali menjelaskan sistematika pembelanjaran dan penerapan ihya Ulumiddin di tanah Melayu, Abiya Muhammad Baidhawi HM tentang Tradisi Aceh dalam pendidikan dan pembelanjaran Ihya Ulumiddin, Dr Adi Setia Md.Dom memaparkan kajian ekonomi dari pemikiran Imam al Ghazali, Prof wan Suhaimi wan Abdullah tentang kerangka ilmu pengetahuan dalam Ihya. Sedangkan Habib Gibril tidak bisa hadir karena kesehatan beliau tidak memunggkinkan.
Yan dan sekitaran kampung aceh adalah suatu warisan budaya yang diakui UNESCO berupa salah satu titik perjuangan Islam di nusantara karena banyak ulama dan tokoh Aceh yang berhijrah ke sana guna melawan penjajah masa itu, hal ini bisa dirasakan bahwa masih banyak anak cucu para pejuang dan makam para ulama pada masa perjuangan melawan penjajah. Salah satu yang sempat kami ziarahi adalah makam Syaikh Umar beliau seorang ulama fiqh dan ahli dalam tariqah Naqsyabandiyyah menurut khabar dari masyarakat melayu setempat kemudian kami juga mengunjungi meunasah peninggalah tokoh aceh yaitu Al Irsyad namun makam beliau tidak ada di sana karena masa tuanya beliau kembali ke Aceh dan meninggal juga di Aceh.
Kemudian kami melanjutkan safari subuh di salah satu mesjid dari kalangan melayu tepatnya hari minggu pagi, setelah shalat subuh sempat kami isikan berupa kuliah subuh tepatnya di Mesjid papan kg pertama, pematang pauh. Dalam kajian hari ini kita ajak kususnya para jamaah dan umumnya untuk masyarakat malaysia supaya istiqamah dalam pengabdian kepada Allah dengan cara menjaga keluarga, anak dari bahaya pengaruh budaya barat serta menanamkan ilmu Islam berupa fadhu ‘ain bagi mareka seperti tiga ilmu yang sangat urgen yaitu Tasawwuf, Tauhid dan Fiqh (TASTAFI). Karena dengan jalan inilah satu-satunya membentengi mereka dari api neraka dan dari ajaran-ajaran baru yang menyimpang pada akhir zaman ini. Setelahnya kami dijamu makan bersama-sama di depan mesjid tersebut dengan pengurus mesjid dan tokoh setempat, kali ini mereka mengucapkan banyak terima kasih atas wawasan keilmuan yang sangat mesti diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Malam terakhir kegiatan kami adalah kajian akbar TASTAFI (Tasawuf, tauhid Dan Fiqah) bersama saudara-saudara yang tercinta asal aceh yang berada di penang, Malaysi. Acara ini terlaksana atas mediasi kerap dipanggil bang Syeh antara kami dan masyarakat Aceh di Penang. Dalam kajian kali ini, kami membagi dalam dua sesi beupa tausiah dan tanya-jawab. Pada syarahan kita sempat mensyarah tentang betapa pentingnya tanggung jawab kita dengan kewajiban yang telah dipundakkan oleh Allah terutama shalat sehari semalam lima waktu, bahaya makanan serta usaha haram sampai kita jelaskan juga betapa besar nikmat iman dan Islam yang Allah berikan kepada kita yang sangat sepatutnya kita syukuri. Hhal ini memang terasa karena masayarakat Aceh di penang, Malaysia tinggal berdampingan dengan orang non muslim yang tidak merasakan betapa indahnya nikmat persaudaraan dalam keimanan. Harapan kita juga kepada masyarakat Aceh supaya menjaga persatuan dan kesatuan, bahu-membahu dalam setiap kegiatan yang dititik beratkan oleh ulama kita seperti pengajian, majelis ta’lim disela-sela kesibukan dalam mencari nafkah di negeri seberang, Malaysia.
Semoga perjalanan kali ini adalah safari dakwah yang memberikan kesejukan serta kedamaian antar aceh dan malaysia, ucapan terima kasih kami juga masyarakat Aceh di Malaysia, pengurus Markaz al Ghazali serta juga kegigihan para pelaksana seminar yang tidak mungkin kita sebutkan satu persatu yang intinya tidak mengurangi rasa hormat kepada semuanya. Insya Allah setelah ini akan ada titik temu untuk mengembangkan kembali kajian tradisi pengajaran kitab turast di Malaysia.
Abiya H. Muhammad Baidhawi HM
Wadir III Dayah MUDI Mesjid Raya, Samalanga, Bireuen
No comments:
Post a Comment