JAMBI - Keberangkatan kami ke Jambi dalam rangka mendampingi kontingen Aceh dalam acara MTQKN ke V di Kota Jambi yang tidak bersamaan dengan rombongan kontingen Aceh membawa berkah tersendiri bagi kami. Karena setelah acara selesai kepulangan kami tidak terikat dengan rombongan, hal ini kami manfaatkan untuk mengunjungi beberapa pondok pesantren di kabupaten-kabupaten Jambi yang lain. Salah satu pondok pesantren yang kami kunjungi adalah Pondok Pesantren Kawakibul Waliyah Al-Aziziyah yang merupakan salah satu cabang dari LPI MUDI Mesjid Raya di Propinsi Jambi yang dipimpin oleh Tgk. Idham Khalid.
Pondok KAWALI ini masih sangat sederhana, hanya memiliki tiga asrama dengan hanya tiga balai dengan usia yang baru setahun karena pondok ini dibuka pada bulan september tahun 2013. Bahkan rumah yang didiami oleh Tgk. Idham Khalid adalah salah satu bangunan kayu yang sebagiannya merupakan asrama santri.
Saat ini Pondok KAWALI baru memiliki santri 23 dengan 3 tenaga pengajar dan sedang menyelesaikan pembangunan asrama baru yang akan menampung santri baru yang telah menyatakan akan menetap di pondok ini setelah Idhul Adha mendatang. Para santri di Pondok Pesantren ini semuanya adalah santri tetap yang belajar aktif dengan jam belajar yang diadopsi dari jam belajar di Dayah MUDI Mesra. Karena masyarakat Jambi tidak mengenal sistem santri mengaji malam saja, anak-anak yang menempuh pendidikan formal SMP dan SMA maka mereka tidak lagi mengaji di balai-balai di waktu malam hari layaknya di Aceh - maka secara otomatis semua santri di Dayah tersebut adalah santri menetap. Rata-rata para santri yang menetap di sini adalah santri usia SMP.
Dari pantauan kami, terlihat adanya penekanan pada pembacaan Al-Quran yang kuat terhadap para santri setelah selesai shalat selalu membaca Al-Quran. Satu hal lain yang menggembirakan untuk perkembangan dayah ini adalah adanya kepercayaan dari beberapa para ulama di Jambi untuk menitipkan anaknya di Dayah Tgk. Idham Khalid tersebut untuk diajarkan ilmu agama. Dari 23 santri yang telah ada saat ini, beberapa di antaranya adalah anak-anak dari tokoh agama dan bahkan cucu para ulama besar di Jambi. Hal ini tentunya akan mempermudah perkembangan Dayah ini ke depan.
Saat ini pondok ini juga mengembangkan pertanian dan perikanan yang dipandu oleh salah satu ahli pertanian dari Sumut yang menetap di Dayah tersebut.
Perjuangan Tgk. Idham Khalid dalam memperjuangkan pondoknya bukan tanpa tantangan, salah satu tantangan beliau adalah adanya kesalahpahaman dari sebagian kalangan masyarakat awam yang mengira beliau adalah Jamaah Tabligh (kebetulan masyarakat di sana tidak menyukai Jamaah Tabligh), karena beliau sering bersurban, berjenggot, dan istri beliau memakai kaus kaki bahkan kadang juga bercadar.
Dalam pembangunan dayahnya, Tgk. Idham Khalid berusaha meninggalkan sistem gubuk, di mana para santri tinggal di gubuk yang dibuatnya masih-masing yang saat ini masih berkembang dan diminati di pondok-pondok di Jambi. Beliau lebih memilih pesantren dengan sistem penginapan para santri di asrama yang dibangun oleh pondok pesantren sehingga lebih mudah menertipkan ruangan dayah yang menjadikan suasana pondok pesantren lebih asri dan rapi. Karena sarana yang belum memadai, beliau belum menerima santri putri untuk belajar di dayah beliau.
Menurut Tgk. Idham Khalid, beliau bertekad mempertahankan sistem salafi yang memfokuskan kajian utamanya pada pemahaman kitab kuning (kutub turast). Beliau beralasan, berdasarkan pengalaman dari beberapa pondok yang menggabungkan sekolah formal di dalamnya, para santri tidak bertahan lama, setelah tamat MTS atau MAN langsung berangkat dengan kemampuan memahami kitab kuning yang rendah.
Keterangan serupa pernah kami dengar dari pihak Kemenag pusat pada saat MQKN di Lombok tahun 2011 yang lalu. Salah seorang pejabat Kemenag Pusat menceritakan bahwa saat ini mereka tidak lagi menyarankan kepada pondok-pondok pesantren salafi untuk memasukkan madrasah dalam pondok mereka, karena setelah adanya madrasah di dalamnya, ternyata menurunkan kualitas pondok pesantren sebanyak 80 persen, demikian penjelasan salah satu anggota Kemenag tersebut.
Profil Pimpinan
Pondok KAWAI didirikan dan dipimpin oleh Tgk. Idham Khalid, ayah dari dua anak ini lahir 5 agustus tahun 1979. Pada tahun 1994 beliau masuk belajar ke pondok pesantren Sayydi Musthafa, Kec. Tabir Kab. Merangin, Jambi hingga tamat aliyah tahun 2000, pada saat tersebut pondok tersebut masih menjalankan sistem tradisional sepenuhnya, sedangkan saat ini sudah diubah dengan sistem tepadu dengan memasukkan madrasah formal di dalamnya. Pada tahun 2001 beliau berangkan ke Aceh dan masuk LPI MUDI Mesjid Raya, Samalanga hingga menamatkan pendidikan Aliyah tahun 2006 kemudian pada tahun 2007 beliau pindah ke Kota Langsa, ikut salah satu guru beliau semasa di MUDI, Tgk. Murdani Muhammad yang mendirikan dayah di kota Langsa, Dayah Futuhul Mu`arif al-Aziziyah, Desa Seuriget, Kota Langsa yang sebelumnya bernama Bustanul Mua`rif.
Di Kota Langsa, selain belajar dan mengajar di dayah sang guru, beliau juga mengajar di beberapa majlis ta`lim di beberapa tempat yang di rekomendasikan oleh guru beliau. Pada tahun 2008 beliau kembali ke MUDI dan sudah dipercaya untuk mengajar di dayah tersebut.
Selama di Aceh selain mempelajari fiqh dan ilmu alat di Dayah MUDI Mesra, beliau juga berbaiah thariqat Naqsyabandi kepada Abuya DR. Muhibuddin Wali al-Khalidi dan Abuya Jamaluddin Waly, sehingga akhirnya beliau diangkat sebagai munaffis dalam thariqat Naqsyabandiyah. Di Dayah MUDI beliau juga sering dipercayakan oleh pengurus dayah untuk memimpin pembacaan surat Yasin dan Zikir bersama, ini dikarenakan bacaan beliau yang bagus dan suara yang merdu. Pada tahun 2010 akhirnya beliau kembali ke Jambi demi mengembangkan ilmu agama yang telah beliau peroleh.
Sebenarnya semenjak setelah menikah ketika pulang ke Jambi pada tahun 2010 beliau sudah memulai membangun dayah dan sudah mulai menerima santri menetap. Saat itu untuk pertama sekali sudah ada enam santri yang menetap di pondok beliau. Namun kemudian keluarga beliau jatuh sakit, hal ini menyebabkan beliau menutup sementara pesantren karena beliau harus menetap di rumah orang tua beliau yang letaknya agak berjauhan dengan pondok pesantren beliau bahkan beberapa Majelis Ta`lim beliau terpaksa ditutup. Setelah kondisi kesehatan keluarga beliau membaik, pada bulan september tahun 2013 beliau kembali menerima santri baru dengan 12 santri baru pertama.
Tgk. Idham Khalid selain memimpin pondok juga dipercayai untuk menjadi imam besar di Mesjid Agung At-taqwa Rantau Panjang kecamatan Tabir, kabupaten Merangin, Propinsi Jambi dan menjadi khatib di beberapa mesjid serta memimpin pengajian beberapa Majelis Ta`lim. Sedangkan untuk pengembangan thariqat di Jambi, Tgk. Idham Khalid masih harus melawan arus pemikiran masyakat setempat bahwa thariqat itu berbahaya dan bahkan kalau ikut thariqat bisa-bisa jadi gila. Karena itu sampai saat ini (september 2014) beliau belum bisa mengembangkan thariqat Naqsyabandi di lingkungan sekitar beliau. Entah bagaimana ketakutan ini bisa muncul namun beliau bertekat akan mencari celah yang baik untuk bisa mengembangkan thariqat tesebut.
Selain itu Tgk. Idham Khalid juga di percayai untuk mengajar beberapa guru dari dayah yang lain, ini karena mereka merasa kekurangan dalam pemahaman ilmu alat. Secara umum, dalam fiqh kitab yang paling tinggi adalah Fathul Mu`in. Dari kunjungan kami bersama Tgk. Idham Khalid ke beberapa pondok lain kami juga mendapati kesimpulan bahwa pimpinan pondok lain mengakui kelebihan Tgk. Idham Khalid, kami juga melihat pimpinan pondok lain yang mengadakan pembicaraan dengan Tgk. Idham Khalid mengenai jadwal bagi beliau untuk mengajar para dewan guru di pondok mereka. (Singa Albayuni/Ibnu Ali)
Pondok KAWALI ini masih sangat sederhana, hanya memiliki tiga asrama dengan hanya tiga balai dengan usia yang baru setahun karena pondok ini dibuka pada bulan september tahun 2013. Bahkan rumah yang didiami oleh Tgk. Idham Khalid adalah salah satu bangunan kayu yang sebagiannya merupakan asrama santri.
Saat ini Pondok KAWALI baru memiliki santri 23 dengan 3 tenaga pengajar dan sedang menyelesaikan pembangunan asrama baru yang akan menampung santri baru yang telah menyatakan akan menetap di pondok ini setelah Idhul Adha mendatang. Para santri di Pondok Pesantren ini semuanya adalah santri tetap yang belajar aktif dengan jam belajar yang diadopsi dari jam belajar di Dayah MUDI Mesra. Karena masyarakat Jambi tidak mengenal sistem santri mengaji malam saja, anak-anak yang menempuh pendidikan formal SMP dan SMA maka mereka tidak lagi mengaji di balai-balai di waktu malam hari layaknya di Aceh - maka secara otomatis semua santri di Dayah tersebut adalah santri menetap. Rata-rata para santri yang menetap di sini adalah santri usia SMP.
Dari pantauan kami, terlihat adanya penekanan pada pembacaan Al-Quran yang kuat terhadap para santri setelah selesai shalat selalu membaca Al-Quran. Satu hal lain yang menggembirakan untuk perkembangan dayah ini adalah adanya kepercayaan dari beberapa para ulama di Jambi untuk menitipkan anaknya di Dayah Tgk. Idham Khalid tersebut untuk diajarkan ilmu agama. Dari 23 santri yang telah ada saat ini, beberapa di antaranya adalah anak-anak dari tokoh agama dan bahkan cucu para ulama besar di Jambi. Hal ini tentunya akan mempermudah perkembangan Dayah ini ke depan.
Saat ini pondok ini juga mengembangkan pertanian dan perikanan yang dipandu oleh salah satu ahli pertanian dari Sumut yang menetap di Dayah tersebut.
Perjuangan Tgk. Idham Khalid dalam memperjuangkan pondoknya bukan tanpa tantangan, salah satu tantangan beliau adalah adanya kesalahpahaman dari sebagian kalangan masyarakat awam yang mengira beliau adalah Jamaah Tabligh (kebetulan masyarakat di sana tidak menyukai Jamaah Tabligh), karena beliau sering bersurban, berjenggot, dan istri beliau memakai kaus kaki bahkan kadang juga bercadar.
Dalam pembangunan dayahnya, Tgk. Idham Khalid berusaha meninggalkan sistem gubuk, di mana para santri tinggal di gubuk yang dibuatnya masih-masing yang saat ini masih berkembang dan diminati di pondok-pondok di Jambi. Beliau lebih memilih pesantren dengan sistem penginapan para santri di asrama yang dibangun oleh pondok pesantren sehingga lebih mudah menertipkan ruangan dayah yang menjadikan suasana pondok pesantren lebih asri dan rapi. Karena sarana yang belum memadai, beliau belum menerima santri putri untuk belajar di dayah beliau.
Menurut Tgk. Idham Khalid, beliau bertekad mempertahankan sistem salafi yang memfokuskan kajian utamanya pada pemahaman kitab kuning (kutub turast). Beliau beralasan, berdasarkan pengalaman dari beberapa pondok yang menggabungkan sekolah formal di dalamnya, para santri tidak bertahan lama, setelah tamat MTS atau MAN langsung berangkat dengan kemampuan memahami kitab kuning yang rendah.
Keterangan serupa pernah kami dengar dari pihak Kemenag pusat pada saat MQKN di Lombok tahun 2011 yang lalu. Salah seorang pejabat Kemenag Pusat menceritakan bahwa saat ini mereka tidak lagi menyarankan kepada pondok-pondok pesantren salafi untuk memasukkan madrasah dalam pondok mereka, karena setelah adanya madrasah di dalamnya, ternyata menurunkan kualitas pondok pesantren sebanyak 80 persen, demikian penjelasan salah satu anggota Kemenag tersebut.
Profil Pimpinan
Pondok KAWAI didirikan dan dipimpin oleh Tgk. Idham Khalid, ayah dari dua anak ini lahir 5 agustus tahun 1979. Pada tahun 1994 beliau masuk belajar ke pondok pesantren Sayydi Musthafa, Kec. Tabir Kab. Merangin, Jambi hingga tamat aliyah tahun 2000, pada saat tersebut pondok tersebut masih menjalankan sistem tradisional sepenuhnya, sedangkan saat ini sudah diubah dengan sistem tepadu dengan memasukkan madrasah formal di dalamnya. Pada tahun 2001 beliau berangkan ke Aceh dan masuk LPI MUDI Mesjid Raya, Samalanga hingga menamatkan pendidikan Aliyah tahun 2006 kemudian pada tahun 2007 beliau pindah ke Kota Langsa, ikut salah satu guru beliau semasa di MUDI, Tgk. Murdani Muhammad yang mendirikan dayah di kota Langsa, Dayah Futuhul Mu`arif al-Aziziyah, Desa Seuriget, Kota Langsa yang sebelumnya bernama Bustanul Mua`rif.
Di Kota Langsa, selain belajar dan mengajar di dayah sang guru, beliau juga mengajar di beberapa majlis ta`lim di beberapa tempat yang di rekomendasikan oleh guru beliau. Pada tahun 2008 beliau kembali ke MUDI dan sudah dipercaya untuk mengajar di dayah tersebut.
Selama di Aceh selain mempelajari fiqh dan ilmu alat di Dayah MUDI Mesra, beliau juga berbaiah thariqat Naqsyabandi kepada Abuya DR. Muhibuddin Wali al-Khalidi dan Abuya Jamaluddin Waly, sehingga akhirnya beliau diangkat sebagai munaffis dalam thariqat Naqsyabandiyah. Di Dayah MUDI beliau juga sering dipercayakan oleh pengurus dayah untuk memimpin pembacaan surat Yasin dan Zikir bersama, ini dikarenakan bacaan beliau yang bagus dan suara yang merdu. Pada tahun 2010 akhirnya beliau kembali ke Jambi demi mengembangkan ilmu agama yang telah beliau peroleh.
Sebenarnya semenjak setelah menikah ketika pulang ke Jambi pada tahun 2010 beliau sudah memulai membangun dayah dan sudah mulai menerima santri menetap. Saat itu untuk pertama sekali sudah ada enam santri yang menetap di pondok beliau. Namun kemudian keluarga beliau jatuh sakit, hal ini menyebabkan beliau menutup sementara pesantren karena beliau harus menetap di rumah orang tua beliau yang letaknya agak berjauhan dengan pondok pesantren beliau bahkan beberapa Majelis Ta`lim beliau terpaksa ditutup. Setelah kondisi kesehatan keluarga beliau membaik, pada bulan september tahun 2013 beliau kembali menerima santri baru dengan 12 santri baru pertama.
Tgk. Idham Khalid selain memimpin pondok juga dipercayai untuk menjadi imam besar di Mesjid Agung At-taqwa Rantau Panjang kecamatan Tabir, kabupaten Merangin, Propinsi Jambi dan menjadi khatib di beberapa mesjid serta memimpin pengajian beberapa Majelis Ta`lim. Sedangkan untuk pengembangan thariqat di Jambi, Tgk. Idham Khalid masih harus melawan arus pemikiran masyakat setempat bahwa thariqat itu berbahaya dan bahkan kalau ikut thariqat bisa-bisa jadi gila. Karena itu sampai saat ini (september 2014) beliau belum bisa mengembangkan thariqat Naqsyabandi di lingkungan sekitar beliau. Entah bagaimana ketakutan ini bisa muncul namun beliau bertekat akan mencari celah yang baik untuk bisa mengembangkan thariqat tesebut.
Selain itu Tgk. Idham Khalid juga di percayai untuk mengajar beberapa guru dari dayah yang lain, ini karena mereka merasa kekurangan dalam pemahaman ilmu alat. Secara umum, dalam fiqh kitab yang paling tinggi adalah Fathul Mu`in. Dari kunjungan kami bersama Tgk. Idham Khalid ke beberapa pondok lain kami juga mendapati kesimpulan bahwa pimpinan pondok lain mengakui kelebihan Tgk. Idham Khalid, kami juga melihat pimpinan pondok lain yang mengadakan pembicaraan dengan Tgk. Idham Khalid mengenai jadwal bagi beliau untuk mengajar para dewan guru di pondok mereka. (Singa Albayuni/Ibnu Ali)
Salam'alaikum...
ReplyDeleteSebelumnya maaf,, saya rasa terjadi kesalahan pengetikan pada tamat 'Aliyah Tgk, Idham, saya rasa itu tahun 2000 sedangkan yang tertulis tahun 2010, karena pada alinea selanjutnya juga dikatakan tahun 2010 beliau kembali ke Jambi demi mengembangkan ilmu agama yang telah beliau peroleh. :-)