mudimesra.com | Abi H. Zahrul Fuadi Mubarrak (Abi Mudi) pagi tadi (05/10/2018) mengisi pengajian lanjutan Ulumul Quran untuk Mahasantri Ma’had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga di ruang belajar Lampoh Wakaf. Pengajian yang berlangsung selama 1 jam setengah tersebut membahas tentang makkiy dan madaniy serta safariy dan hadhriy. Setidaknya ada 3 pola pembagian makkiy dan madaniy. Menurut pendapat masyhur, makkiy dan madaniy ditinjau dari segi hijrah Nabi. dimana ayat yang turun sebelum hijrah dinamakan makkiy, dan ayat yang turun setelah hijrah dinamakan madaniy sekalipun turunnya di Mekah seperti ayat yang turun saat penaklukan Mekah (8H) dan haji wada’ (10H). Sedangkan pendapat lainnya membagi makkiy dan madaniy dengan meninjau kepada tempat turunnya ayat, sehingga ayat yang turun dalam perjalanan tidak diistilahkan makkiy dan madaniy, namun hanya diistilahkan safariy. Ada juga pendapat lainnya yang membedakan makkiy dan madaniy dengan melihat objek atau sasaran khitab.

Menurut Abi, memang kalau dilihat sekilas perbedaan ini tidak terlalu penting. Namun bagi para Mujtahid perbedaan makkiy dan madaniy, begitu juga safariy dan hadhriy sangat berpengaruh terhadap kesimpulan hasil ijtihad. “Kita bisa melihat dalam bab tayamum misalnya, terjadi perbedaan hukum antara tayamum saat ketiadaan air di tempat yang biasanya terdapat air dengan tempat yang biasanya tidak ada air, dimana tayamum pada tempat yang biasanya ada air mengharuskan i’adah, sedangkan tayamum di tempat yang biasanya tidak ada air tidak mengharuskan i’adah. Ini salah satu contoh bahwa perbedaan ini sangat penting bagi mujtahid untuk menentukan kesimpulan hukum.” Papar Abi MUDI.

Wadir I Dayah MUDI Mesjid Raya ini juga memaparkan penjelasan dari Abu Al-Qasim Hasan bin Muhammad An-Naisaburiy bahwa Alquran yang berhubungan dengan makkiy dan madaniy diklasifikasikan kepada 25 bagian, antara lain ayat madaniy yang menyerupai makkiy dan sebaliknya, ayat yang turun di Baitul Maqdis, di Juhfah, di Thaif, ayat yang dibawa dari Mekah ke Madinah, dari Madinah ke Mekah, dari Madinah ke Habasyah, dan lain-lain. Abu Al-Qasim An-Naisaburi berkata: “Siapa yang tidak memahami 25 perkara ini dan tidak mampu membedakan antara satu dengan lainnya, tidak halal baginya berkomentar apapun terhadap kitabullah.”

Dalam pengajian ini Abi juga mengijazahkan amalan dari Imam As-Suyuthi yang berfaedah untuk diberikan kemudahan dalam mempelajari ilmu, diberikan harta yang banyak dan keluasan rezki. Amalan ini dibaca setiap hari setelah shalat Subuh sejumlah 3 kali. Bacaannya sebagai berikut:

اَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ الَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّوْمَ بَدِيْعَ السَّمٰوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا مِنْ جَمِيْعِ جُرْمِيْ وَاِسْرَافِيْ عَلَى نَفْسِيْ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ
"Aku meminta ampun kepada Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, yang Maha Hidup lagi yang Maha Mengatur, yang menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu diantara keduanya, dari segala dosaku dan sikap melampaui batasku atas diriku, Dan Aku bertaubat kepada-Nya."

Di samping merupakan amalan dari Imam As-Suyuthi, seorang santri memang dituntut untuk banyak beristighfar. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam kalam hikmah salah seorang shalihin,

لا تفكر كثيراً ، بل استغفر كثيراً ؛ فالله يفتح بالإستغفار أبواباً لا تفتح بالتفكير
“Jangan terlalu banyak berpikir, namun perbanyaklah istighfar. Allah membuka pintu-pintu tertentu dengan istighfar yang tidak dapat dibuka dengan berpikir.”

Di akhir pengajian ini Abi berpesan agar amalan ini segera diamalkan mulai besok subuh serta istiqamah. Selain itu, amalan yang sudah dijelaskan bilangan seperti dianjurkan untuk dibaca sesuai ketentuan. Hal ini sama seperti bacaan tasbih setelah shalat yang dianjurkan 33 kali, maka tidak lebih baik dibaca dengan jumlah yang lebih banyak. Karena angka itu bagaikan gigi suatu kunci, kalau gigi kuncinya lebih atau kurang, maka pintu yang dimaksudkan untuk terbuka tidak dapat terbuka. (MIJ)