BANDA ACEH, 24 Desember 2024 — Lembaga Bahtsul Masail (LBM) MUDI Mesjid Raya Samalanga bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menggelar Muzakarah bertema “Kebijakan Ruang Aceh Berkeadilan Ekologis” di Hotel Grand Permata Hati, Blang Oi, Banda Aceh. Acara ini berlangsung dari pukul 08.30 hingga 17.00 WIB dan menjadi langkah strategis dalam mendukung Rencana Revisi Qanun Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh.

Muzakarah bertujuan untuk mengintegrasikan perspektif keislaman dan prinsip keadilan ekologis dalam kebijakan tata ruang di Aceh. WALHI Aceh, sebagai organisasi lingkungan hidup terkemuka di Indonesia yang fokus pada advokasi dan perlindungan hak lingkungan, menjadi mitra strategis dalam kegiatan ini.

Pemateri dan Tim Kajian

Acara ini menghadirkan pemateri utama dari LBM MUDI, yakni Penasehat LBM Dr. H. Helmi Imran, MA, yang juga menjabat sebagai Ketua LBM Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh. Diskusi diperkuat oleh Tim Kajian LBM MUDI, terdiri dari:

  • Ketua: Tgk. Mustafa Kamal Hasan
  • Wakil: Tgk. Zulfan Fahmi M. Nasir
  • Anggota: Seluruh anggota LBM MUDI

Musahhih

Validator ulama terkemuka Aceh turut hadir untuk memastikan validitas diskusi, yaitu:

  1. Abu H. Faisal Ali (Ketua MPU Aceh dan Ketua PWNU Aceh)
  2. Abiya Dr. H. Anwar Usman, MM (Rais Am Dayah Darul Munawarah Kuta Krueng)
  3. Ayahanda Prof. Dr. Muntasir A. Kadir, MA (Pimpinan Dayah Jamiah Al-Aziziyah dan Pembina UNISAI Samalanga)

Moderator

Diskusi dipandu oleh Abiya Dr. Muslem Hamdani, MA, yang memastikan jalannya muzakarah berlangsung sistematis dan produktif.

Hasil Muzakarah 

Muzakarah ini menekankan pentingnya pengesahan segera Rancangan Qanun RTRW Aceh pada tahun 2025, dengan landasan prinsip Islam seperti tauhid, khalifah, keadilan, maslahah, dan keseimbangan. Para peserta juga mendesak adanya transparansi data pengelolaan sumber daya alam dan pengakuan terhadap kawasan perlindungan seperti Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan adat, serta wilayah kelola masyarakat.

Partisipasi luas dari berbagai pihak, termasuk ulama, masyarakat adat, dan kelompok perempuan, menjadi perhatian utama dalam pembahasan qanun. Selain itu, rekomendasi dari Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dianggap sebagai langkah krusial sebelum qanun disahkan. Semua poin ini diharapkan mampu menciptakan kebijakan ruang yang adil, berkelanjutan, dan sesuai dengan nilai-nilai syariat.